Sembuhkan Darah Tinggi Dan Diabets Dengan Kopi Mengkudu
SURABAYA,- Di tangan Gunarsi (45), Guru SDN Polagan 2 Sampang, buah mengkudu bisa menjadi bubuk yang ia sebut sebagai kopi mengkudu. “Aromanya sangat khas. Rasanya tak kalah nikmat dengan kopi biasa. Bahkan, kopi mengkudu ini bisa sebagai obat yang cukup mujarab menyembuhkan penyakit darah tinggi maupun kencing manis,” ujar Gunarsi.
Awalnya, Gunarsi mengonsumsi buah mengkudu untuk mengobati penyakit asma yang dia derita. Biasanya buah mengkudu itu ia jadikan rujak, yakni dipotong-dipotong, diberi sambal, kemudian langsung dimakan. Karena bosan dengan olahan yang itu-itu saja, Gunarsi mencoba mengolah buah mengkudu itu menjadi semacam kopi bubuk.
Ibu empat orang anak itu menuturkan, cara mengolah kopi mengkudu sangat gampang dan sederhana. Buah yang masih setengah matang dan berwarna putih diiris kecil-kecil. Hasil irisan itu lalu dijemur di bawah terik matahari selama 3 hari, agar benar-benar kering.
Tahap selanjutnya, irisan yang sudah kering itu disangrai beberapa menit, seperti layaknya menyangrai biji kopi. Setelah disangrai, baru digiling sehingga menjadi bubuk.
“Setelah menjadi bubuk, kopi tersebut diseduh dengan air panas dan siap dihidangkan. Rasanya ya seperti kopi, tapi aromanya berbeda,” kata Gunarsi.
Ternyata, tidak hanya Gunarsi dan keluarganya yang menyukai kopi mengkudu. Para tetangganya pun menyukai kopi mengkudu buatan Gunarsi. Berawal dari situ, akhirnya Gunarsi membuat kopi mengkudu lebih banyak dari kebutuhannya sendiri. Ia kemas kopi mengkudu itu dalam bentuk sachet dengan merek Pandawa Lima dan ia jual dengan harga Rp 1.000/sachet.
“Saya hanya menjual kepada para tetangga sekitar atau pesanan dari daerah lain, yang mengetahui produksi kopi mengkudu tersebut dari mulut ke mulut. Bahkan, saya juga mendapat pesanan dari orang Bandung,” tutur Gunarsi, yang berasal dari Kediri itu.
Menurut dia, produksi kopi mengkudu itu memang belum dia lempar ke pasaran secara luas, karena belum terdaftar di Departemen Kesehatan maupun Departemen Perdagangan dan Perindustrian (Deperindag).
Produksinya pun belum banyak, dalam sehari ia hanya mampu memproduksi 1,5 kg. Selain itu, kopi mengkudu buatan Gunarsi itu tahan hanya dua bulan, karena tanpa bahan pengawet.
“Kami terbentur modal, serta tidak tahu bagaimana cara memasarkan produksi kopi mengkudu tersebut, sehingga kami hanya mengembangkan ala kadarnya,” ungkap Gunarsi.
Awalnya, Gunarsi mengonsumsi buah mengkudu untuk mengobati penyakit asma yang dia derita. Biasanya buah mengkudu itu ia jadikan rujak, yakni dipotong-dipotong, diberi sambal, kemudian langsung dimakan. Karena bosan dengan olahan yang itu-itu saja, Gunarsi mencoba mengolah buah mengkudu itu menjadi semacam kopi bubuk.
Ibu empat orang anak itu menuturkan, cara mengolah kopi mengkudu sangat gampang dan sederhana. Buah yang masih setengah matang dan berwarna putih diiris kecil-kecil. Hasil irisan itu lalu dijemur di bawah terik matahari selama 3 hari, agar benar-benar kering.
Tahap selanjutnya, irisan yang sudah kering itu disangrai beberapa menit, seperti layaknya menyangrai biji kopi. Setelah disangrai, baru digiling sehingga menjadi bubuk.
“Setelah menjadi bubuk, kopi tersebut diseduh dengan air panas dan siap dihidangkan. Rasanya ya seperti kopi, tapi aromanya berbeda,” kata Gunarsi.
Ternyata, tidak hanya Gunarsi dan keluarganya yang menyukai kopi mengkudu. Para tetangganya pun menyukai kopi mengkudu buatan Gunarsi. Berawal dari situ, akhirnya Gunarsi membuat kopi mengkudu lebih banyak dari kebutuhannya sendiri. Ia kemas kopi mengkudu itu dalam bentuk sachet dengan merek Pandawa Lima dan ia jual dengan harga Rp 1.000/sachet.
“Saya hanya menjual kepada para tetangga sekitar atau pesanan dari daerah lain, yang mengetahui produksi kopi mengkudu tersebut dari mulut ke mulut. Bahkan, saya juga mendapat pesanan dari orang Bandung,” tutur Gunarsi, yang berasal dari Kediri itu.
Menurut dia, produksi kopi mengkudu itu memang belum dia lempar ke pasaran secara luas, karena belum terdaftar di Departemen Kesehatan maupun Departemen Perdagangan dan Perindustrian (Deperindag).
Produksinya pun belum banyak, dalam sehari ia hanya mampu memproduksi 1,5 kg. Selain itu, kopi mengkudu buatan Gunarsi itu tahan hanya dua bulan, karena tanpa bahan pengawet.
“Kami terbentur modal, serta tidak tahu bagaimana cara memasarkan produksi kopi mengkudu tersebut, sehingga kami hanya mengembangkan ala kadarnya,” ungkap Gunarsi.
0 comments:
Posting Komentar